Wednesday, January 16, 2013

Ini bumi yang aku pijak. Itu langit yang aku junjung.

Ini bumi yang aku pijak. Itu langit yang aku junjung. 

Bila mana aku jumpa si hantu makan dedak atau si anak penjaja kedai kopi yang jelongak kerbau rampung, aku akan ingatkan diri aku, ini lah si buntat yang kepingin menjadi gemala sementelah si bungkuk baru betul. Bila si kaduk naik junjung, bulatnya bersegi, bila bersanding, ia melukai. Apa yang hendak dikata lagi, pemuka-pemuka ugama laksana bangsawan. Lebih bangsawan dari bangsawan. Uang pelincir disalir berlapik kartas haram diberi diambil lagaknya, tapi tanah pusaka tergadai ke Langkasuka dan Temasik tidak apa? Bagai air daun talas, walaupun buaiannya digoncang, namun anak masih dicubit. Laksana kucing pemuka naik haji, pulang si kucing mengeong juga. Lurus-lurus paku, hujungnya berbentuk juga. Masakan mentari boleh dilindungi dengan nyiru? Pokoknya, mampukah kita biarkan biduk tiris menanti karam?

Walau ada yang bilang si bulang sali kacak sama, tinggal lagi mujur malang, bagi kita, biar kena tampar dengan jari yang bercincin daripada kena jentik dengan tangan yang berkudis. Diam kita bukan kerna penggali berkarat, diam kita ubi berisi. Kita bukan lagi bersuluh dengan batang pisang, tapi bulan mentari. Dengan nama yang Maha Esa. Dengan warisan wasiat sembilan Raja-Raja Melayu. Ayoh, kita rapat-rapatkan saf. Masa hampir tiba untuk tanjak sonsang.

Ini bumi yang kita pijak. Itu langit yang kita junjung.